Banjir Mematikan, Pemerintah Menyalahkan

Oleh: Wildan Hanafi (Pegiat Media)
SUDAH jatuh tertimpa air, begitu kira-kira nasib warga Panjang, kota Bandar Lampung.
Tiga nyawa melayang, bukan karena longsor, bukan pula karena petir, tapi karena sesuatu yang paling rajin datang setelah hujan: banjir.
Ya, banjir. Bukan tamu asing di negeri ini, apalagi di Kota Bandar Lampung yang dikenal dengan prestasi: “Air datang, kami tenggelam.”
Tiga orang meninggal. Tapi tenang, pemerintah sudah mengirimkan bantuan: satu karung mie instan dan dua karung janji manis.
Sambil berdiri di atas genangan, pejabat datang, senyum dilempar ke kamera, sepatu tetap bersih karena airnya hanya untuk rakyat, bukan untuk mereka yang punya jabatan dan sepatu mahal.
Menariknya, saat ditanya penyebab banjir, seorang pemimpin kota berinisial E.D., yang biasa tampil anggun dengan kerudung rapi dan suara lembut, langsung menuding pihak lain.
Katanya, itu semua salah perusahaan pelabuhan milik negara sebut saja “PT Pelan-Pelan Indo” yang membuat aliran air tersumbat.
Masyarakat terendam, tapi yang disalahkan justru badan usaha, seolah-olah pemerintah daerah hanya penonton di tengah genangan.
“Sudah biasa, Mas,” kata warga sambil menimba air dari ruang tamu.
“Kalau hujan dua jam, banjir dua hari. Kalau protes, dituduh merusuh.” Ironis, rakyat yang terkena musibah malah disalahkan.
Katanya salah buang sampah. Padahal pejabatnya yang buang tanggung jawab.
Di Panjang, air bah bukan soal alam, tapi warisan. Warisan dari tata ruang yang tersusun indah dalam proposal, tapi kacau dalam kenyataan.
Drainase dibangun, tapi hanya di foto-foto sosialisasi.
Sungai dinormalisasi, tapi hanya dalam narasi. Yang nyata hanyalah nyawa yang pergi dan harapan yang hanyut.
Entah siapa yang lebih deras, air hujan atau air mata keluarga korban.
Tapi yang pasti, yang mengalir paling lancar tetap saja proyek dan anggaran.
Sementara warga hanya bisa berenang dalam nestapa, menunggu kapan kota ini benar-benar peduli, bukan hanya ketika kamera menyala.
Banjir bukan takdir. Tapi kalau dibiarkan seperti ini, kita seolah sedang berdoa agar musim hujan membawa korban biar ada alasan buat pejabat datang bawa mie.
Selamat datang di Panjang, di mana nyawa warga bisa hilang, jabatan tetap tenang, dan salah tetap bisa dilemparkan ke siapa saja, asal bukan ke diri sendiri.

Walikota Bandarlampung saat meninjau Banjir diwilayah Panjang. (Foto ist)