DAMAR Catat 31 kasus di 2024, 50 Persen Lebih Kekerasan Seksual Terhadap Anak

FAJARSUMATERA – Memperingati 25 tahun perjuangannya dalam pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan, Perkumpulan DAMAR menggelar refleksi dan catatan tahunan (CATAHU) 2024, pada Senin (10/2) malam.
Perkumpulan DAMAR, yang berdiri sejak tahun 1999 dan resmi dideklarasikan pada 10 Februari 2000, telah konsisten dalam mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selama 25 tahun perjalanan organisasinya, DAMAR telah memberikan pendampingan dalam berbagai kasus, baik secara litigasi maupun non-litigasi. Dalam kurun waktu tersebut, negara telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi untuk melindungi korban kekerasan.
“Selama ini, kami terus berkomitmen membantu masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan dan membutuhkan pendampingan dari kami,” kata Mada.
Namun, ironisnya, angka kasus kekerasan, khususnya di Provinsi Lampung, terus mengalami peningkatan. Salah satu bentuk kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan seksual, yang terjadi di berbagai ruang, baik di ranah publik maupun privat.
Salah satu temuan utama dalam catatan pendampingan DAMAR tahun 2024 adalah meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, baik di institusi formal maupun non-formal.
Dari total 31 kasus yang didampingi DAMAR sepanjang tahun ini, lebih dari 50% merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku dalam kasus-kasus ini sering kali berasal dari lingkungan terdekat korban, termasuk keluarga, tenaga pendidik, hingga tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak.
“Maka dari itu, kami selalu terbuka dan terus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa jika membutuhkan pendampingan, kami siap membantu dan memberikan dukungan,” tambahnya.
Data yang dihimpun DAMAR menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak justru mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kasus yang paling banyak terjadi meliputi kekerasan seksual (pencabulan), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perundungan (bullying), Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), serta penelantaran anak.
Meski pemerintah telah menggagas program Kota/Kabupaten Layak Anak, kenyataannya masih banyak kasus kekerasan yang belum tertangani dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak masih menghadapi berbagai kendala, termasuk lemahnya implementasi regulasi dan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hak-hak anak.
Dalam momentum peringatan Hari Lahir (HARLAH) Perkumpulan DAMAR pada 10 Februari, organisasi ini merefleksikan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya di dunia pendidikan.
Salah satu persoalan krusial yang disoroti adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama jika pelaku berasal dari kalangan tenaga pendidik.
“DAMAR menemukan bahwa efek jera bagi pelaku kekerasan seksual masih belum maksimal, sehingga kasus-kasus serupa terus berulang. Bahkan, dalam beberapa kasus, terdapat upaya dari oknum aparat penegak hukum untuk memfasilitasi perdamaian antara pelaku dan korban. Padahal, dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, mediasi atau perdamaian tidak diperbolehkan karena dapat menghilangkan hak korban untuk mendapatkan keadilan,” tegasnya.
Selain itu, DAMAR menyoroti bahwa banyak korban mengalami tekanan sosial setelah melaporkan kasus kekerasan. Dalam beberapa kasus, korban justru dipaksa pindah sekolah demi menghindari stigma, sementara pelaku tetap berada di lingkungan yang sama. Situasi ini mencerminkan bahwa sistem perlindungan bagi korban masih sangat lemah dan perlu pembenahan serius.
DAMAR juga mencatat adanya penurunan perspektif aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak.
“Semakin banyak regulasi yang dikeluarkan seharusnya memperkuat perlindungan hukum bagi korban. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas agar tidak ada lagi pelaku yang bebas dari hukuman atau mencari celah hukum untuk lolos dari tuntutan,” imbuhnya.
Di lingkungan pendidikan, ketidakadilan bagi korban masih menjadi masalah serius. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan dukungan, korban sering kali mengalami tekanan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Sementara itu, pihak sekolah, demi menjaga nama baik institusi, cenderung mengabaikan hak korban untuk mendapatkan keadilan.
DAMAR menekankan bahwa perlindungan terhadap anak seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat luas, termasuk pihak sekolah dan keluarga. Oleh karena itu, perlu ada sistem yang lebih ketat untuk memastikan bahwa korban kekerasan mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi.
Melalui refleksi ini, DAMAR berharap agar penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual dapat diperketat, terutama dalam memberikan efek jera bagi pelaku. Selain itu, DAMAR juga mendorong peningkatan edukasi kepada keluarga korban agar lebih memahami hak-hak hukum yang dimiliki anak-anak mereka.
Salah satu aspek yang masih menjadi perhatian utama adalah minimnya eksekusi restitusi bagi korban kekerasan seksual. DAMAR mencatat bahwa hingga saat ini, hak restitusi bagi korban masih belum dijalankan secara optimal, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu atau yang tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan seksual, masih menjadi masalah serius yang membutuhkan perhatian semua pihak. Meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan, implementasinya masih menghadapi banyak kendala.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang lebih erat antara pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak.