Film The Burning Season: Sebuah Fakta Sosial Hingga Advokasi Kebijakan
“The Burning Season: Chiko Mendes” adalah film yang mengisahkan perjalanan hidup Chiko Mendes, seorang aktivis Brasil yang berjuang melindungi hutan Amazon dari konversi lahan menjadi peternakan. Latar belakang film ini menggambarkan keindahan hutan yang menjadi rumah bagi masyarakat adat di Cachoirra, serta bagaimana lingkungan ini terancam oleh aktivitas industri yang merusak. Chiko, yang lahir dan dibesarkan di wilayah tersebut, menyaksikan secara langsung dampak dari penggundulan hutan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sebagai seorang pemimpin yang sangat mencintai lingkungan, Chiko, bersama Wilson Pienheiro, mengajak masyarakat lokal dan anggota perserikatannya untuk melawan penebangan hutan yang dilakukan oleh para pengusaha. Dia tidak hanya berjuang untuk melindungi lingkungan, tetapi juga untuk hak-hak masyarakat yang sering kali terpinggirkan. Film ini menampilkan berbagai tantangan yang dihadapi Chiko, termasuk intimidasi dan ancaman fisik dari penguasa.
Selain menjadi pemimpin perserikatan pekerja pedesaan, Chiko juga mencalonkan diri sebagai walikota negara bagian. Meskipun akhirnya kalah karena Chiko menolak membeli suara, Chiko tetap mendapatkan banyak dukungan untuk aksinya dalam penyelamatan lingkungan setelah pidatonya yang mengungkap dampak kerusakan lingkungan menjadi sorotan media. Chiko berusaha menunjukkan bahwa pelestarian hutan bukan hanya penting untuk ekosistem, tetapi juga memiliki nilai ekonomi jangka panjang. Pemikiran ini mengundang berbagai reaksi, baik dari pendukung maupun penentang, menciptakan ketegangan yang sepanjang film.
Pemerintah yang tidak terima karena surat kabar memberitakan tentang pemerintahan yang tercoreng oleh tindakan Chiko dan rekannya dari Amerika pun segera menemui Chiko di kediamannya. Setelah negosiasi yang panjang, pemerintah terpaksa mengakui bahwa Chiko adalah seorang aktivis yang tidak bisa dibeli. Akhirnya, mereka mendeklarasikan pembebasan kawasan tersebut dari proyek pembuatan jalan dan kerusakan lingkungan akibat pembakaran.
Namun, para peternak dan penguasa yang merasa terancam mulai merencanakan tindakan untuk mencelakakan Chiko. Meskipun Chiko dan orang-orang terdekatnya menyadari hal itu, dia tetap pada pendiriannya untuk tidak meninggalkan tanah kelahirannya.
Tragisnya, Chiko tertembak di belakang rumahnya saat hendak membuka pintu. Dia pun tewas akibat peluru yang bersarang di dadanya, dan pemakamannya membuat tanah Cachoirra berduka.
Catatan Kritis:
Meskipun sosok Chiko digambarkan sebagai aktivis yang bersikap tegas, latar belakang dan faktor yang membentuk karakternya tidak dijelaskan secara mendalam. Di awal film, alurnya terasa terburu-buru, sementara di momen-momen tertentu, seperti setelah Chiko dipukuli dan Wilson Pienheiro meninggal, alurnya terkesan lambat. Meskipun demikian, film ini berhasil menguras emosi penonton, terutama saat Chiko menolak meninggalkan tempat yang dicintainya dan berkomitmen mempertahankan wilayah tersebut. Selain menumbuhkan rasa cinta tanah air, film ini juga mengedukasi kita tentang perjuangan para aktivis yang rela berkorban demi hak-hak masyarakat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari karena melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, pers, pebisnis, hingga masyarakat kecil. Film ini bukan hanya sekadar kisah tentang Chiko, tetapi juga cerminan dari perjuangan global melawan perubahan iklim dan pengrusakan lingkungan. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan tindakan mereka sendiri dan dampaknya terhadap planet ini, serta menginspirasi mereka untuk terlibat dalam usaha pelestarian lingkungan hidup.
Penulis: Finsc, Mahasiswa Magang UIN Raden Intan Lampung