SP Sebay Lampung Hadiri Pertemuan Stakeholder Asia-Pasifik di Bangkok

Bangkok, Thailand – Solidaritas Perempuan Sebay Lampung (SPSL) turut serta dalam *Asia-Pacific Stakeholder Meeting & Second Asia-Pacific Regional Review of the Implementation of the Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration (GCM)* yang diselenggarakan di UNCC Bangkok, Thailand. Pertemuan ini membahas implementasi *Global Compact for Migration (GCM)*, sebuah kesepakatan global yang mengatur tata kelola migrasi internasional. GCM dirancang untuk mengoptimalkan manfaat migrasi sekaligus mengatasi risiko dan tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran, baik di negara asal, transit, maupun tujuan.
Meskipun GCM tidak mengikat secara hukum (*non-legal binding*), dokumen ini dapat menjadi indikator penting dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran. GCM, yang telah disepakati pada 10 Desember 2018 di Maroko, mencakup 23 tujuan yang diharapkan dapat diadopsi oleh pemerintah negara-negara anggota, termasuk Indonesia.
Amnesty Amalia Utami, Koordinator Program Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, yang hadir sebagai salah satu *stakeholder*, menyatakan bahwa Indonesia telah memiliki instrumen kesepakatan global lainnya, seperti ratifikasi Konvensi Migran 1990 ke dalam aturan nasional. Namun, menurutnya, GCM perlu segera diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dalam menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) dan dikoordinasikan dengan pemangku kebijakan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pekerja migran.
**Kontribusi Solidaritas Perempuan Sebay Lampung**
Dalam forum ini, SPSL memaparkan hasil penelitian dan pendampingan yang telah dilakukan, didukung oleh program *Safe and Care ILO 2021-2023* dan *FPAR & Advocacy for Migrants by APWLD 2022-2024*. Melalui program ini, SPSL melakukan penguatan kapasitas bagi purna migran, keluarga calon pekerja migran, dan pemangku kebijakan di Lampung. Fokusnya adalah pentingnya migrasi aman, aturan yang responsif gender, serta advokasi kebijakan di tingkat desa untuk melindungi calon pekerja migran, khususnya perempuan.
Amnesty juga menyoroti tantangan yang dihadapi pekerja migran di berbagai negara Asia-Pasifik, serta rekomendasi yang disampaikan kepada UNCC dan Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Kementerian Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
1. **Penyediaan Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSA)**: Pemerintah diminta segera menyediakan LTSA di wilayah kantong pengirim buruh migran di Lampung Timur yang responsif gender, mudah diakses, dan komprehensif.
2. **Mekanisme Komunikasi dan Koordinasi**: Membangun mekanisme komunikasi dan koordinasi yang melibatkan masyarakat sipil dan organisasi yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran, khususnya perempuan.
3. **Perlindungan Sistematis di Tingkat Lokal**: Membangun mekanisme perlindungan bagi perempuan pekerja migran di tingkat desa melalui informasi yang akurat dan komprehensif.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Amnesty menekankan bahwa pertemuan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kondisi pekerja migran di kawasan Asia-Pasifik serta tantangan dalam memberikan perlindungan kepada mereka. Ia berharap rekomendasi yang disampaikan dapat mendorong pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam melindungi pekerja migran, khususnya perempuan, di setiap tahapan migrasi.
Dengan adanya GCM dan upaya advokasi yang dilakukan oleh organisasi seperti Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, diharapkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran dapat terus ditingkatkan, baik di tingkat nasional maupun internasional.