Satpol PP Bandarlampung Seret, Cekik dan Usir Pendemo soal Banjir

FAJARSUMATERA – Delapan orang warga Kota Bandar Lampung melakukan aksi protes di depan Gedung Merah, markas Pemerintah Kota, menuntut tanggung jawab Walikota Eva Dwiana atas banjir besar yang melanda kota tersebut sepekan lalu. Banjir tersebut tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga merenggut nyawa dua warga di Kecamatan Kedamaian.
Aksi ini berlanjut selama tiga hari berturut-turut, namun yang mencuri perhatian adalah perlakuan represif yang diterima peserta aksi dari aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Derry Nugraha, salah satu peserta aksi, mengungkapkan bahwa ia dan peserta lainnya diperlakukan dengan kekerasan, termasuk dicekik dan diseret keluar gedung.
Kristin, seorang peserta aksi perempuan, menangis saat menceritakan kekerasan fisik yang diterimanya, termasuk cakaran di lengan dan teman-temannya yang diseret dengan paksa.
Meskipun ada niat dari Walikota Eva Dwiana untuk berdialog dengan massa aksi, pertemuan tersebut batal setelah diskusi berlangsung. “Kami hanya ingin menyampaikan aspirasi soal nyawa yang hilang karena banjir. Tapi kami malah diusir seperti bukan warga kota ini,” kata Derry.
Walikota Eva Dwiana dalam konferensi pers menyatakan bahwa Pemkot telah menyiapkan solusi untuk penanganan banjir, yang mencakup normalisasi saluran air, pembuatan embung, penertiban bangunan liar di atas sungai, dan penghijauan. Namun, aksi warga yang menuntut perhatian tersebut berakhir dengan tindakan keras dari aparat.
Kasat Pol PP Kota Bandar Lampung, Ahmad Nurizki Erwandi, mengklaim bahwa Walikota sudah siap untuk menemui para pendemo, namun setelah berdialog, mereka memilih membubarkan diri. “Ini bukan lagi soal unjuk rasa. Ini soal perlakuan represif aparat terhadap warga negara yang menyampaikan suara,” ujar Wahyu, salah satu peserta aksi.
Tindakan aparat ini menyoroti lemahnya respons pemerintah terhadap bencana yang semakin merusak Kota Bandar Lampung. Di tengah krisis tata kota dan minimnya infrastruktur, tindakan kekerasan terhadap warganya semakin memperburuk citra pemerintah lokal.
Dalam situasi ini, Satpol PP yang seharusnya menjaga ketertiban, justru terlibat dalam represinya terhadap warga yang menyuarakan keluhannya. Menurut tugas Satpol PP yang dilansir dari situs resmi mereka, tugas utama mereka adalah penegakan peraturan daerah, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, namun dalam kasus ini, mereka lebih terkesan sebagai alat penindasan terhadap aspirasi warga.