Ketua KPU RI dianugerahi Gelar Adat Tuan Suttan Pemimpin Negara

FAJARSUMATERA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, H. Mochammad Afifudin, secara resmi menjadi bagian dari masyarakat adat Lampung, khususnya Marga atau Buay Selagai di Lampung Timur. Prosesi tersebut ditandai dengan ritual adat angkon waghey (angkat saudara) yang dilangsungkan bersama Rizqie Guntur Pahlawan Randau, tokoh adat tertua di Selagai Nyampir yang bergelar Suttan Pengiran Siwo Mergo. Dalam prosesi tersebut, Afifudin dianugerahi gelar adat Tuan Suttan Pemimpin Negara.
Upacara adat ini tidak sekadar seremoni budaya, melainkan mencerminkan relasi simbolik antara struktur negara dan tradisi lokal. Pengangkatan tokoh nasional ke dalam sistem kekerabatan adat merupakan bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai lokal serta cara masyarakat adat Lampung memelihara relasi sosial dan politik melalui mekanisme budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Sebelum gelar adat diberikan, Afifudin diwajibkan mengikuti tarian igel, suatu tarian sakral yang melibatkan tahapan simbolik: mulai dari menari dengan tangan kosong, lalu dengan keris (punduk), pedang, dan terakhir tombak (payan). Tarian ini dilaksanakan bersama H. Noverisman Subing, tokoh adat dari Bandar Mataram yang bergelar Suttan Pengiran Ratu Sebuay Subing. Rangkaian tarian ini merepresentasikan tahapan transformasi spiritual dan simbol kekuatan dalam budaya Lampung, sekaligus sebagai syarat legitimasi untuk memperoleh gelar kehormatan.
Tradisi angkon waghey sendiri memiliki nilai historis dan filosofis yang dalam. Menurut Suttan Pengiran Ratu Sebuay Subing, tradisi ini dilakukan berdasarkan tiga alasan utama. Pertama, adanya kebaikan yang luar biasa antara dua pihak, yang melebihi nilai persaudaraan sedarah dan tidak dapat diukur dengan materi. Kedua, pengakuan atas keilmuan atau kemampuan yang seimbang di antara dua pihak yang tidak bisa saling mengalahkan, biasanya disimbolkan dengan adu tanding tanpa pemenang. Ketiga, adanya rekonsiliasi setelah pertumpahan darah atau konflik, yang kemudian diakhiri dengan perdamaian adat tanpa melibatkan aparat negara.
Ketiga alasan ini menunjukkan bahwa sistem nilai masyarakat adat Lampung memiliki fondasi sosial yang kokoh dan sarat akan prinsip-prinsip keadilan restoratif, pengakuan mutual, dan penghormatan terhadap kekuatan spiritual dan moral seseorang. Dalam konteks kontemporer, pengangkatan Afifudin bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap kapasitas kepemimpinannya sebagai tokoh nasional yang dianggap layak masuk ke dalam sistem sosial adat.
Lebih jauh, peristiwa ini juga mengindikasikan bagaimana institusi negara seperti KPU mulai bersentuhan lebih intens dengan struktur sosial tradisional. Hal ini dapat dibaca sebagai strategi kultural sekaligus simbolik dalam membangun legitimasi sosial di tingkat lokal, terutama di wilayah-wilayah dengan tradisi adat yang masih kuat seperti Lampung.
Dengan demikian, masuknya Afifudin ke dalam keluarga besar Buay Selagai bukan hanya peristiwa budaya, tetapi juga peristiwa sosial-politik yang sarat makna. Ia menjadi contoh aktual bagaimana adat dan negara tidak selalu berada dalam posisi yang berseberangan, melainkan dapat saling menguatkan melalui pengakuan simbolik dan nilai-nilai kekerabatan lintas struktur.