Wahdi Sirajuddin di Mata Mbah Slamet
![](https://fajarsumatera.co.id/wp-content/uploads/2024/09/IMG-20240925-WA0071-960x640.jpg)
FAJARSUMATERA– Metro di Mata Mbah Slamet Riyadi LELAKI yang mengaku sudah berusia 85-an itu, kini hanya berdua di rumah. Jelas di dinding rumah terbuat dari batako ada tempelan tulisannya Keluarga Pra Sejahtera. Duduk diteras rumah lelaki yang mengaku namanya Slamet Riyadi itu terasa nyaman. Walau atap teras rumahnya terbuat dari plastik yang dipasang rapih sekali.
Hari itu, Jumat 20 September 2024 kebetulan penulis menjemput cucu di MIN Yosomulyo letaknya berdampingan dengan komplek pemakaman umum. Akibat salah jadwal penjemputan penulis numpang duduk di teras rumah Mbah Slamet. Terasnya cukup luas dengan beberapa bangku kayu dan meja sekitaran 1,5 meter. Juga, ada meja jualan jajanan anak-anak tempat mbah Slamet hampir seharian berada di situ.
Sejatnya numpang duduk hanya beberapa menit menunggu bubaran kelas satu, ternyata sampai dua jam. Disaat menunggu itu penulis akhirnya mengobrol dengan mbah Slamet. Asyik juga, mbah ini pendengarannya masih sangat baik. Selain bahasa Jawanya, ia juga mahir berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik.
Dalam hati penulis type mbah Slamet cocok untuk bertanya-tanya, bukan mencari-cari. Bisikan itu muncul karena pertimbangan di sisi usia mbah Slamet pastinya mempunyai perjalanan hidupnya dengan kisah—kisah sebagai realitas kehidupannya sampai sekarang. Mbah Slamet bertutur menjawab pertanyaan penulis sangat baik, runtut dan jelas. “Wow keren.”
Di kisahnya, Slamet menuturkan dia dilahirkan di Metro. Sedangkan orangtuanya berasal dari daerah Banyumas, Jawa Tengah. Teritorial masyarakat berbahasa Jawa dialeknya (logat) ngapak.
Tentang dirinya sendiri, Slamet mengaku pekerjaannya selama ini hanyalah membecak. Namun, sekitar 7-an tahun lalu dirinya sudah istirahat menganyuh pedal becaknya.
“Dulu saya pernah tinggal di daerah Iringmulyo, Mas,” ungkap Slamet.
“Ya, ya saya tahu, Mbak,” sambungku.
Menurut Slamet setelah tinggal di Iringmulyo beberapa tahun dirinya pindah ke 15.B Timur dengan pekerjaan tetap membecak. Slamet tidak menyebut angka tahun ia pindah domisili dan akuinya dari 15.B Timur itu ia pindah ke Yosodadi (yang sekarang Yosomulyo).
“Tapi, bukan di sini mas. Saya tinggal di komplek Masjid Al Manaar,” kenang Slamet dengan santai duduk di bangku kayu dengan meja dagangan isterinya.
Slamet juga menuturkan, ketika masjid Al Manaar mau dibangun, ia terpaksa numpang dengan Pak Dasim—mantan lurah Yosomulyo yang sudah almarhum. Dari situ kata Slamet barulah ia pindah di rumahnya sekarang ini persis di depan pintu gerbang komplek MIN Metro itu.
Berkisahlah Slamet kepada penulis makin lama semakin akrab dan komunikatif antara kami berdua. Mbah Slamet lebih banyak berkisah dan penulis hanya sekali-kali bertanya. “Klop sekali, komunikatif dan memang asyik menjelang siang itu!”
Ketika ditanya, bagaimana keadaan warungnya setiap hari yang berada persis di depan gerbang MIN. Slamet mengakui kalau dulu masih lumayan anak-anak jajan. Tapi, kenangnya ketika sudah ada kantin di MIN bahkan pintu gerbang sering dikunci. Warungnya jadi sepi pembeli.
“Ya, begitulah, mas,” katanya sedikit mengeluh tanpa berubah mimik mukanya.
Jualan Slamet dan isterinya atau Mbah ini sebenarnya jajanan anak-anak, itupun hanya sedikit sekali. Mungkin modalnya sekitar sepuluh ribu tiap jualan. Namun, bagi Slamet tentu saja isterinya pekerjaan dagang kecil-kecilan lebih nyaman.
Saat asyik ngobrol, tiba-tiba isteri Slamet ke luar menemui seorang lelaki yang duduk di samping penulis sembari membawa buku tulis yang isinya sudah robek-robek dan pulpen.
Kisah Slamet Riyadi (Mbah Slamet), luar biasa apalagi pernah menggeluti profesi sebagai ‘pembecak’ masih sempat menikmati dan mengenang berbagai perubahan di Kota Metro di usianya hampir 90 tahun.
Daya ingat Slamet Riyadi, juga masih sangat baik. Pembawaannya santai tak pakai mengeluh-ngeluh walau kondisi ekonominya sangat, sangat jauh.
Sampai-sampai di dinding rumahnya di tempeli stiker dari pemerintah “keluarga pra sejahtera”
“Waktu masih mbecak, saya sering mengikuti pengajian dan saya ingat yang suka beri pengajian waktu itu Pak Saipul Parjono,” kenang Slamet sembari bercerita zaman kemajuan saat ini khususnya di Kota Metro.
“Mas, Metro sekarang maju. Perhatian pemerintah beberapa tahun terakhir ini sangat besar,” ucap Slamet yang masih betah duduk di bangku kayu menunggu kota jualannya.
Bahkan, di akhir ceritanya Mbah Slamet nanya Walikota Metro yang katanya sangat santun, ramah dan suka sekali menyapa orang.
“Ya, Bapak itu kalau berkunjung ke masyarakat semua orang disalaminnya, diajak ngomong. Hebat bapak itu,” kenang Slamet menceritakan sosok Walikota Metro Wahdi Sirajudin.
Semoga Mbah Slamet dan isterinya di usia senja ini tetap sehat dan mendapat barokah dari Allah SWT.