Refleksi 78 Tahun HMI: Kaderisasi dan Tantangan Bonus Demografi

Tak terasa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah memasuki usia ke-78 tahun.
Sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, HMI terus bergulir dalam dinamika perjuangannya, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Didirikan pada 5 Februari 1947, HMI lahir dengan komitmen mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Para pendirinya, dipimpin Lafran Pane, berjuang membentuk organisasi ini sebagai wadah intelektual dan perjuangan bagi umat serta bangsa.
Sejak awal, HMI memainkan peran penting dalam panggung keumatan dan kebangsaan.
Pada dekade 1950-an, di tengah perdebatan soal konsep negara Islam, HMI dengan tegas memilih jalur negara nasional.
Pada 1970-an, ketika stagnasi pemikiran keislaman melanda, HMI tampil dengan gagasan “pembaruan Islam” yang digagas Nurcholish Madjid.
Sejarah mencatat, organisasi ini selalu berada di garis depan dalam isu-isu strategis bangsa.
Namun, seiring berjalannya waktu, idealisme kepeloporan HMI tampaknya mengalami kemunduran.
Jika dulu HMI dikenal sebagai motor intelektual yang independen, kini ia justru kerap terseret dalam arus pragmatisme politik.
Independensi yang dulu menjadi marwah organisasi semakin luntur akibat tarik-menarik kepentingan partai politik.
Di tengah kompleksitas persoalan bangsa mulai dari isu keagamaan, sosial, politik, hingga hukum HMI seolah kehilangan daya tawarnya.
Organisasi ini tak lagi menjadi pusat gagasan yang dapat dijadikan rujukan dalam diskursus nasional.
Dilema Kaderisasi: Politik Praktis vs Khitah Organisasi
Belakangan, fenomena keterlibatan kader HMI dalam politik praktis semakin kentara. Kedekatan emosional dan kepentingan senior-junior sering kali menjadi alasan utama keterlibatan ini.
Akibatnya, orientasi kader tidak lagi sejalan dengan tujuan awal organisasi.
Ruang aktualisasi intelektual semakin sempit, dan banyak kader lebih fokus pada kepentingan politik jangka pendek.
HMI menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan khitahnya sebagai organisasi perjuangan umat dan bangsa, tanpa kehilangan relevansi di tengah perubahan zaman?
Menyongsong Bonus Demografi: HMI dan Generasi Milenial
Dalam satu dekade ke depan, Indonesia akan memasuki periode bonus demografi. Generasi milenial dan Gen Z akan menjadi aktor utama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik dan ekonomi.
Tantangannya, bagaimana HMI bisa tetap relevan di tengah generasi yang cenderung pragmatis, individualistis, dan lebih akrab dengan teknologi?
Untuk bertahan, HMI harus mampu beradaptasi dengan ekosistem digital.
Artificial intelligence (AI), big data, Internet of Things (IoT), serta cloud system adalah realitas baru yang tak bisa dihindari.
Organisasi yang ingin bertahan harus mampu memanfaatkan teknologi ini demi efektivitas dan efisiensi geraknya.
Transformasi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mutlak.
Pengelolaan organisasi yang modern membutuhkan sistem berbasis data, transparansi, serta akuntabilitas.
Jika HMI ingin tetap menjadi wadah kaderisasi unggul, ia harus memiliki roadmap yang jelas menuju ekosistem digital.
HMI tak boleh sekadar menjadi romantisme sejarah. Jika tidak berbenah, ia akan kehilangan relevansi dan ditinggalkan oleh generasi yang seharusnya menjadi tumpuan perjuangannya.
Saatnya HMI kembali pada esensi perjuangan, mencetak kader intelektual, menjaga independensi, serta menjadi lokomotif perubahan bagi umat dan bangsa.
Selamat milad ke-78 HMI! Yakin Usaha Sampai!
Penulis
Wildan Hanafi
Fungsionaris HMI Badko Sumatera Bagian Selatan