Hari Buruh: Libur Sehari, Lembur Setahun

Oleh: Wildan Hanafi (Pekerja Merdeka)
Hari Buruh kembali tiba, momen di mana para pekerja diberi panggung sehari untuk berteriak—tentu dengan syarat, jangan terlalu keras, jangan bikin macet, dan jangan ganggu ketertiban umum.
Karena, seperti biasa, pemerintah dan pengusaha sangat mendukung buruh selama mereka diam dan tetap bekerja.
Spanduk-spanduk dibentangkan: “Naikkan Upah!”,
“Hapus Outsourcing!”, “Stop PHK Sepihak!” lalu dilipat kembali besok pagi ketika para buruh harus lembur mengejar target produksi. Ironi? Tentu tidak. Ini bagian dari “keseimbangan ekonomi”.
Para elit duduk manis di talk show TV, membicarakan “nasib buruh” sambil menyeruput kopi seharga setengah gaji harian pekerja pabrik. Mereka bilang buruh harus sabar, karena negara sedang sulit.
Aneh, kenapa kesulitan negara selalu ditanggung bersama, tapi keuntungannya hanya dinikmati segelintir?
Sementara itu, influencer-influencer berlomba mengucapkan “Selamat Hari Buruh” di Instagram, dengan caption bijak dan foto liburan di Bali.
Mereka peduli kok, meskipun satu-satunya buruh yang mereka kenal adalah sopir pribadi.
Tapi tenang saja, buruh tetap kuat. Mereka tahu, perjuangan bukan cuma soal teriak di jalan.
Kadang, cukup dengan bertahan hidup di tengah upah murah, harga melambung, dan janji-janji kosong yang datang setiap tanggal 1 Mei.
Untuk para buruh di seluruh Indonesia, khususnya di Lampung kalian bukan hanya tulang punggung ekonomi, tapi juga jiwa dari negeri ini.
Di tengah ketidakpastian dan ketimpangan, kalian terus bekerja dengan tangan yang kasar tapi hati yang bersih.
Terus suarakan hak, jangan lelah berharap, dan jangan berhenti berjuang. Perubahan tidak selalu cepat, tapi keberanian kalian adalah bahan bakarnya.
Selamat Hari Buruh. Semangat tak pernah padam. Hidup buruh!
Penulis adalah Wildan Hanafi buruh nulis