Menengok Upaya Gubernur Mirza Memperkuat Industri Tapioka dan Petani Singkong

Provinsi Lampung selama ini dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, namun tak banyak yang menyoroti peran krusial sektor hilirnya, khususnya industri pengolahan singkong menjadi tapioka. Berdasarkan data terkini tahun 2024, terdapat 67 industri tapioka yang tersebar di 9 kabupaten di Provinsi Lampung. Jumlah ini terdiri atas 32 industri skala besar dan 35 industri skala menengah, mencerminkan tingginya geliat sektor agroindustri berbasis singkong di provinsi ini.
Industri-industri tersebut tersebar di kabupaten berikut: Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara, Mesuji, Pesawaran, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, dan Way Kanan. Kabupaten Lampung Tengah tercatat sebagai pusat industri tapioka terbesar dengan 14 industri skala besar dan 22 industri skala menengah. Sementara kabupaten lainnya, seperti Pesawaran dan Way Kanan, hanya memiliki satu hingga dua unit usaha, sebagian besar berskala menengah.
Mayoritas industri ini memiliki kode KBLI 10621, yang menunjukkan klasifikasi sebagai industri penggilingan dan pengolahan tepung tapioka. Nama-nama besar seperti PT BUDI ACID JAYA, PT BUDI STARCH & SWEETENER, PT FLORINDO MAKMUR, dan PT SINAR PEMATANG MULIA muncul berkali-kali dalam daftar, memperlihatkan konsolidasi sektor oleh pemain besar yang menguasai beberapa titik produksi di berbagai kabupaten.
Tak hanya itu, banyak pula industri lokal dan keluarga yang bergerak di skala menengah, seperti CV Gajah Mada Internusa, PT Karisma Nusa Multi Niaga, dan CV Mahameru di Way Kanan. Data mencatat bahwa beberapa industri dikelola oleh tokoh lokal, dengan nomor kontak langsung yang masih aktif dan tersebar, menunjukkan bahwa hubungan personal dan jaringan lokal masih menjadi kekuatan utama dalam pengelolaan industri menengah ini.
Namun, potensi ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Sebagian besar pabrik berada di daerah pedesaan dengan akses infrastruktur yang terbatas. Belum lagi isu lingkungan seperti limbah cair dari proses produksi yang masih belum seluruhnya dikelola secara modern. Selain itu, industri kecil dan menengah sering kali mengalami kendala dalam hal pembiayaan, teknologi, dan stabilitas pasokan bahan baku.
Data ini berasal dari dua sumber utama, yakni Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dan Direktori Industri Besar dan Sedang (IBS) dari BPS Provinsi Lampung tahun 2024. Validitas dan keterpaduan data ini menjadi dasar penting bagi pemerintah daerah dan pusat dalam merumuskan kebijakan hilirisasi pertanian, pembangunan industri daerah, dan peningkatan daya saing produk lokal.
Sebelumnya, Pemprov Lampung telah menetapkan harga dasar singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 30 persen tanpa mempertimbangkan kadar pati (aci). Kebijakan ini diberlakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap petani dan respons atas gejolak harga yang merugikan produsen lokal.
“Kita boleh kompetitif, tapi tidak boleh mengorbankan petani. Instruksi ini adalah langkah sementara yang kami ambil sambil menanti keputusan nasional yang lebih komprehensif,” ujar Mirza Djausal, Gubernur Lampung.
Sementara, Kementerian Perdagangan melalui Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Isy Karim menyatakan bahwa pihaknya telah membahas usulan lartas (larangan dan oembatasan) secara internal dan siap mengangkat isu ini dalam forum koordinasi lintas kementerian. Pembahasan akan dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika ekonomi nasional dan global, serta masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
Gubernur Mirza juga menyampaikan bahwa Pemprov tengah menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai bentuk penguatan regulasi. Selain itu, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan harga di lapangan dilakukan bersama aparat kepolisian dan DPRD.
“Langkah ini bukan hanya soal harga, tapi tentang keberpihakan. Kita ingin petani singkong Lampung mendapat perlindungan yang setara dengan kontribusinya bagi perekonomian daerah dan nasional,” pungkas Gubernur Mirza.
Industri tapioka Lampung tidak hanya menjadi tumpuan ekonomi daerah, tetapi juga gambaran nyata bagaimana pengolahan komoditas lokal bisa mendorong kemandirian industri nasional. Ke depan, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan petani / masyarakat dalam mengembangkan ekosistem industri yang berkelanjutan, inklusif, dan berwawasan lingkungan.
Penulis: Deni Kurniawan