SP Sebay Tuntut Tanggungjawab Pemerintah atas Penggusuran Warga Sabah Balau

BANDARLAMPUNG – Penggusuran 42 rumah warga di Sabahbalau, Sukarame, Lampung Selatan, pada 12 Februari 2025 lalu, berujung pada tindakan represif yang memicu kemarahan berbagai pihak. Aksi yang melibatkan 1.200 aparat ini tidak hanya mengusik ketenangan warga, tetapi juga menyebabkan sejumlah perempuan mengalami kekerasan, termasuk dugaan kasus seorang ibu hamil yang mengalami keguguran akibat bentrokan.
Menurut Solidaritas Sebay Lampung (SPSL), penggusuran ini mencerminkan pendekatan pemerintah yang cenderung militeristik dan represif dalam menangani masalah lahan. Mereka menegaskan bahwa penggusuran seharusnya menjadi opsi terakhir, sesuai dengan Komentar Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa. Sayangnya, dalam peristiwa ini, pemerintah dinilai gagal memberikan solusi bagi warga terdampak, termasuk kompensasi yang layak.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas, Reni Yuliana Meutia, menyatakan bahwa akar permasalahan ini terletak pada minimnya akses rakyat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, terutama tempat tinggal.
“Banyak warga terpaksa menempati lahan kosong karena sulitnya mendapatkan hunian layak. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat hanya memperparah ketimpangan penguasaan tanah antara perusahaan besar dan masyarakat kecil,” ujarnya.
Dampak dari penggusuran ini sangat dirasakan oleh kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. Selain kehilangan tempat tinggal, mereka juga mengalami kesulitan mengakses air bersih, pendidikan, hingga pekerjaan.
Beberapa perempuan bahkan terpaksa bekerja sebagai buruh rumah tangga atau pekerja migran untuk bertahan hidup, sebuah situasi yang justru memperbesar risiko eksploitasi dan kekerasan terhadap mereka.
Atas kejadian ini, Solidaritas Sebay Lampung mengajukan tujuh tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Lampung, di antaranya:
1. Mengusut tuntas tindakan represif yang dilakukan aparat dan preman terhadap warga.
2. Memberikan ganti rugi yang layak bagi warga terdampak.
3. Menyediakan pemukiman layak dan akses air bersih bagi warga miskin ekstrem.
4. Memberikan dukungan psikososial kepada korban penggusuran.
5. Memfasilitasi pelatihan keterampilan dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat.
6. Memberikan akses pemanfaatan lahan tidak produktif kepada warga dengan perjanjian yang mengikat.
7. Mencabut kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, terutama perempuan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah terkait tuntutan tersebut. Sementara itu, warga yang terdampak masih bertahan dalam kondisi serba kekurangan dan berharap adanya langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. (red)